FAKTA TAHUN 2015 ADALAH MOMENTUM INVESTASI TERPERCAYA
Banyak orang ingin melakukan investasi untuk menjadi lebih sejahtera di usia tuanya. Namun, di Indonesia hanya beberapa saja yang sadar pentingnya investasi untuk masa depannya demi keluarganya. Pada umumnya, orang awam di Indonesia tetap bekerja dan terus bekerja, padahal ketika tua tenaga untuk bekerja menjadi berkurang, dan dengan investasi itu maka bisa menunjang kehidupan masa yang akan datang meskipun tidak bekerja, karena yang bekerja adalah uang yang telah diinvestasikan. Namun, hanya beberapa orang saja yang sadar akan pentingnya investasi. Pada tahun 2015 inilah momentum investasi sangat bagus dan dasyat.
Meskipun diketahui rupiah kembali melemah terhadap dolar AS sebagaimana mata uang lain, investor melihat ekonomi Indonesia masih prospektif. Asing bakal kembali berinvestasi, baik secara langsung maupun masuk lewat bursa. Indeks harga saham diyakini melaju kencang tahun ini, didukung sentimen stimulus yang bakal diberikan pemerintah dan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan kembali turun.
Rupiah yang melemah saat ini justru bisa menjadi momentum untuk menarik dana global, karena investasi jadi lebih murah di tengah reformasi struktural yang mulai dilakukan pemerintahan baru Joko Widodo (Jokowi). Tak heran, memasuki minggu pertama 2015, korporasi-korporasi besar pun makin mantap mengibarkan proyek-proyek mega investasinya.
Grup Sinar Mas misalnya, akan berinvestasi US$ 3,3 miliar untuk membangun pabrik pulp & paper US$ 3 miliar dan produk hilir sawit US$ 300 juta, setelah mengantongi fasilitas tax holiday berupa pembebasan pajak penghasilan (PPh) selama 7-10 tahun dan diskon PPh 50 persen untuk dua tahun. Kelompok yang memiliki banyak bisnis di Indonesia, RRT, dan Singapura ini sudah memasarkan produknya di lebih dari 120 negara di lima benua. Sementara itu, di sektor keuangan, kelompok Cathay Financial Holding berencana membeli 40 persen saham PT Bank Mayapada Internasional Tbk senilai US$ 278 juta. Cathay merupakan perusahaan holding keuangan terbesar di Taiwan.
Seiring keberhasilan pemerintah mencabut subsidi premium di Jawa, Madura, dan Bali serta menerapkan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar, memang ada ruang fiskal cukup besar untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi 2015. Namun demikian, kenaikan pertumbuhan hanya terjadi jika dana penghematan subsidi BBM yang mencapai Rp 216 triliun setahun ini benar-benar digunakan untuk kegiatan produktif yang mengungkit perekonomian.
Selain digunakan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur transportasi, energi, dan pertanian, dana tersebut juga harus dimanfaatkan untuk memberi stimulus yang memperkuat struktur industri kita. Industri penghasil bahan baku/penolong dan barang modal harus diberi insentif besar-besaran untuk memangkas ketergantungan impor.
Impor barang-barang tersebut yang mencapai 92,96 persen dari total impor membuat ekonomi Indonesia rawan gejolak dari eksternal, seperti dampak naiknya dolar akibat menguatnya ekonomi Amerika Serikat dan kekhawatiran merosotnya harga minyak. Ekonomi kita juga tidak bisa tumbuh tinggi, bahkan kini hanya mendekati 5 persen. Pasalnya, setiap industri produk akhir kita tumbuh seiring bertambahnya kelas menengah, terjadilah lonjakan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang membuat neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan defisit. Hal ini memperlemah rupiah dan harus direm Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga acuan, sehingga laju pertumbuhan menurun lagi.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera membuat gebrakan dengan memberi stimulus besar-besaran untuk sektor substitusi impor itu, sebagaimana dulu dilakukan negara-negara maju seperti Korea Selatan. Pemerintah harus memberi multiinsentif yang menarik, tak cukup hanya menjanjikan pelayanan terpadu satu pintu. Lebih dari itu, pemerintah harus menciptakan paket yang menarik mulai dari relaksasi syarat dan prosedur tax holiday, jaminan listrik dan gas murah, hingga penyediaan lahan di kawasan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan untuk jaringan tol laut. Jika Jokowi berencana membangun 24 pelabuhan, berarti setidaknya harus juga dicanangkan 24 kawasan industri substitusi impor dari ujung barat hingga timur Nusantara.
Stimulus lain juga harus diberikan di sektor pasar modal yang masih ketinggalan dibanding negara lain, agar penggalangan dana untuk investasi semakin besar. Ekonomi kita akan tumbuh lebih baik bila ada dana investasi yang lebih murah dari pasar modal, dan tidak hanya mengandalkan pinjaman perbankan yang kini bunganya sudah tinggi. Untuk itu, pemerintah perlu memberi insentif keringanan pajak yang menarik bagi emiten, misalnya potongan pajak penghasilan 50 persen bagi yang menawarkan saham publik minimal 40 persen. Saat ini, insentif hanya berupa potongan PPh 5 persen untuk emiten yang memperdagangkan minimal 40 persen sahamnya di bursa.
Yang tak kalah penting adalah memperbesar kapasitas badan usaha milik negara (BUMN), yang perannya masih sangat besar dalam perekonomian maupun pasar modal. Jika dalam APBN 2015 target dividen BUMN dipatok Rp 43,73 triliun, pemerintah dan DPR perlu menurunkan menjadi separuhnya saja. Dengan demikian, BUMN dapat lebi optimal dalam pengembangan usaha maupun investasinya, termasuk dalam menjalankan penugasan pemerintah terkait pembangunan infrastruktur. Bank-bank BUMN yang membutuhkan penguatan permodalan juga akan lebih sigap untuk bersaing, tak kalah dengan bank-bank Singapura dan Malaysia yang kini menguasai regional ASEAN.
Gebrakan-gebrakan Jokowi ini dipastikan makin menggairahkan investor untuk menanamkan modal di Indonesia, baik langsung maupun lewat pasar modal. Apalagi, laju inflasi dipastikan turun seiring penurunan harga minyak dan gas yang diperkirakan terjadi tahun ini. Indeks harga saham dipastikan juga melaju lebih kencang, dibanding tahun lalu yang mencetak gain 22 persen.
Sumber : beritasatu.com
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.